Banyak teman-teman saya yang mempunyai bisnis keluarga mengalami dilema yang sama. Orang tua menyekolahkan anak-anaknya jauh ke negeri seberang atau bahkan sampai negeri acek/ciu-ciu/tsu-tsu/apek Sam (paman sam maksudnya. kentang bgt ye ni jokes. haha. jokes internal tionghoa nih, maap, abis ini dilema banyak bgt di family business mereka) dengan harapan memberikan yang terbaik. Dan memang yang terbaik yang mereka dapat. Namun ketika sang anak dilibatkan dalam operasional bisnis seringkali kepemimpinan orang tua merajalela di mana-mana sampai pada titik dimana sang anak merasa tidak mempunyai peran atau bahkan bertanya "why do you put me here, if nothing i say matters? what's the use of sending me abroad, years of learning, just to go back to the old-days daddy-management?"
Opini dan sudut pandang yang berbeda memang lazim terjadi, namun kalau otoritas orang tua yang kembali mengatasi segalanya dalam bisnis, apakah ini sehat? Kalau saya melihatnya sih tidak. Dari anak sendiri tidak boleh berharap dalam waktu cepat dia bisa langsung meroket dan mengambil kendali penuh. Harus ada titik temu diantaranya. Berikut adalah petikan wawancara dari Majalah SWA edisi Juni dengan founder Jawa Pos yang akhirnya sukses me-regenerasi kepemimpinan & manajemen dan akhirnya mengepakkan sayap bisnisnya lebih lebar lagi. Parents & the successors should read this. This is wisdom from the pro who has been there and done that.
Sekarang, posisi saya Chairman Group Jawa Pos. Benang merah yang harus dipahami oleh seluruh pemimpin di Grup Jawa Pos adalah percaya bahwa di setiap zaman itu punya generasinya tersendiri, dan setiap generasi itu punya zamannya tersendiri. Nah, agar bisa lintas generasi alias bisa diterima di setiap generasi, pahamilah hal tersebut lebih dulu dengan sikap mau menerima, berpikiran terbuka, dan fleksibel. Kalau tidak paham akan hal tersebut, jangan coba-coba bisa menjadi pemimpin. Jadi, pahamilah kalau setiap zaman itu pasti ada bedanya dan pelakunya. Jangan pernah ngotot untuk bisa terus memimpin di zaman yang sudah bukan zamannya lagi. Sesungguhnya, itu sama saja dengan omong kosong. Saya saja menyadari kalau sudah bukan zaman saya lagi memimpin dengan tipikal dan cara saya di zaman sekarang. Sudah saatnya alih generasi. -- Dahlan Iskan
Itu wisdom dari sang ayah yang anaknya sendiri harus merangkak dari reporter terbawah di Jawa Pos, dan mengikuti semua jenjang selama bertahun-tahun dan melewati performance test sampai akhirnya menjadi direktur. Nah, berikut adalah perspektif lain dari posisi anak, dialah Jefri Darmadi yang sekarang dipercayakan ayahnya untuk memimpin PT. Jakarta Setiabudi Internasional (pemilik dan pengelola Setiabudi One, Hotel Hyatt, Formule One, dan sejumlah properti lainnya).
Prinsipnya, saya bukanlah ayah saya. Saya adalah anak ayah saya. Sehingga, nilai-nilai yang ia ajarkan bagi saya sifatnya timeless. Saya bisa pakai itu dalam banyak hal. Perbedaannya adalah waktu dan zaman. Apa yang telah ayah berikan kepada saya dan apa yang telah dia contohkan pada saya, akan saya lakukan dengan cara saya sendiri. Zaman dan tantangan yang kami hadapi berbeda. Jadi yang terpenting bagaimana saya harus berbuat agar bisa konsisten dengan garis besar yang telah ayah ajukan. -- Jefri Darmadi
Mungkin ini bisa menjadi trigger untuk teman-teman atau parents yang mempunyai family business untuk berpikir lebih jauh, mengubah perspektif, membicarakan titik temu semua lebih untuk jangka panjang bisnis keluarga anda sendiri. Lebih lengkapnya sih tetap beli saja majalah SWA dua kopi, satu untuk anda, satu untuk ayah anda lalu diskusikan. Kalau ayah anda sangat otoriter yah tinggalkan saja majalah di meja kerjanya atau di toilet di sebelah jamban favoritnya, atau di ruang tamu tepat di halaman yang anda mau ia baca. Dan berdoa semoga dia tergerak. Hehe.
Tersenyumlah, Bersinarlah.
Rubs