Biar body tambah seksi
Goyang kanan goyang ke kiri
Gak mau kalah dengan gadis-gadis yang di sini
Ini zaman zaman edan
Kakek nenek pacaran di pinggir jalan
Katanya jaman pembangunan
Tapi mengapa kok banyak pengangguran
Ini salah siapa?
Ini dosa siapa?
Coba anda tanyakan pada Tehbotol, tehnik ... bodoh dan tolol.”
Same World Different Universe
Sepenggal lirik lagu Tehbotol yang selalu saya request kalau bertemu dengan bapak pengamen di kawasan Muara Karang. Lagu yang santai tapi mempunyai pesan serius. Lagu yang menyindir sekaligus menghibur. Rasanya campur aduk. Mungkin seperti ini lah gambaran street food atau kaki lima di Indonesia. Lebih kerennya mungkin disebut Amigos, alias agak minggir got sedikit. Kaki lima adalah melting pot dari berbagai hal yang sekilas mata mudah kita lewatkan. We might see the same world, but there are actually different universes.
Here In The South
Paragraf ini ditulis dari lantai tiga sebuah gedung perkantoran di area Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Memandang dari kaca jendela ke bawah terlihat barisan makanan kaki lima yang bersembunyi di bawah teduhnya pohon-pohon rindang. Menariknya, gerobak-gerobak makanan yang ada di siang hari akan berganti dengan sesuatu yang baru setiap malam dan begitu seterusnya. Gado-gado, ketoprak, baso, nasi gulai, batagor, kue cubit, berganti menjadi sate ayam, pecel lele, martabak, ayam goreng, dan lainnya. Same spot, different food. Same place, different people. Same world, different universe.
Ada satu hal lagi yg menarik sekaligus mengusik saya. Sebagai warga Indonesia dengan darah Cina yang cukup kental, saya tidak habis pikir mengapa berjualan setengah hari saja? Mengapa tidak sekalian sehari full untuk profit yg maksimal? Mengapa sengaja membawa bahan makanan secukupnya saja? Mengapa tidak menyiapkan lebih?
Pertanyaan-pertanyaan ini sekalian mengumpat kekesalan karena setiap kali terlambat setengah jam, gado-gado kesukaan saya selalu saja sudah habis. Ternyata saya tidak siap untuk mendengar jawabannya. Dengan ringkasnya sang penjual gado-gado berkata: “Saya jualan yang penting cukup untuk hidup hari ini, Mas.” Simple tapi menyimpan makna yang dalam. Jarang melihat keyakinan seperti itu di zaman ini. Bahwa dunia akan senantiasa menyediakan apa yang kita butuhkan selama kita berusaha, bahwa kesusahan untuk sehari cukuplah untuk sehari. Jadi teringat petikan ucapan teman saya yang jarang memusingkan soal uang: “Tenang, bank gue Bank Tuhan.” Same world, different universe. Gado-gado yang sama tapi ternyata ada garis perbedaan yang besar antara sang penjual dan saya, sang pembeli.
Pertanyaan-pertanyaan ini sekalian mengumpat kekesalan karena setiap kali terlambat setengah jam, gado-gado kesukaan saya selalu saja sudah habis. Ternyata saya tidak siap untuk mendengar jawabannya. Dengan ringkasnya sang penjual gado-gado berkata: “Saya jualan yang penting cukup untuk hidup hari ini, Mas.” Simple tapi menyimpan makna yang dalam. Jarang melihat keyakinan seperti itu di zaman ini. Bahwa dunia akan senantiasa menyediakan apa yang kita butuhkan selama kita berusaha, bahwa kesusahan untuk sehari cukuplah untuk sehari. Jadi teringat petikan ucapan teman saya yang jarang memusingkan soal uang: “Tenang, bank gue Bank Tuhan.” Same world, different universe. Gado-gado yang sama tapi ternyata ada garis perbedaan yang besar antara sang penjual dan saya, sang pembeli.
From South To North
Lain halnya di Selatan, lain kisahnya di Utara. Sebuah kaki lima ala tenda dengan merek dagang Pecel Lele Stellamaris adalah salah satu spot favorit dikala galau lapar tengah malam atau disaat terjangkit virus kanker (kantong kering) stadium lima. Saya yakin semua yang membaca pasti punya street food favorit, setidak-tidaknya lapak nasi / mie goreng langganan.
Nah di sini, langganan saya adalah ayam goreng, sambel pecel, tempe dan tahu goreng, tanpa nasi putih. Sang penjual yang lebih akrabnya saya panggil Bang Jowo sudah tahu preferensi saya ini. Terkadang bila lama tidak berkunjung, pada kedatangan berikutnya dia pasti bertanya “Kemana aja bos, udah lama ga keliatan.” Sama halnya juga dengan bapaknya yang seringnya dituakan dengan panggilan Pak Haji. Kalau beliau tidak ada di tempat, saya pun balik bertanya “Si Bapak kemana? Tumben gak kelihatan.” Basa-basi bagi sebagian orang, tapi buat saya itu keakraban singkat yang kadang ngangenin.
Nah, Pak Haji punya kisah yang inspirasional. Dari tenda kecilnya yang berkapasitas maksimal dua puluh orang dia menghidupi anak-anaknya sekaligus sudah dua kali berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menjalankan ibadah. Dari potongan ayam dan lele yang sama, saya mengenyangkan perut sementara beliau beribadah. Same world, different universe.
Nah di sini, langganan saya adalah ayam goreng, sambel pecel, tempe dan tahu goreng, tanpa nasi putih. Sang penjual yang lebih akrabnya saya panggil Bang Jowo sudah tahu preferensi saya ini. Terkadang bila lama tidak berkunjung, pada kedatangan berikutnya dia pasti bertanya “Kemana aja bos, udah lama ga keliatan.” Sama halnya juga dengan bapaknya yang seringnya dituakan dengan panggilan Pak Haji. Kalau beliau tidak ada di tempat, saya pun balik bertanya “Si Bapak kemana? Tumben gak kelihatan.” Basa-basi bagi sebagian orang, tapi buat saya itu keakraban singkat yang kadang ngangenin.
Nah, Pak Haji punya kisah yang inspirasional. Dari tenda kecilnya yang berkapasitas maksimal dua puluh orang dia menghidupi anak-anaknya sekaligus sudah dua kali berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menjalankan ibadah. Dari potongan ayam dan lele yang sama, saya mengenyangkan perut sementara beliau beribadah. Same world, different universe.
And Further North
Bergerak tidak jauh dari lokasi Pak Haji, mengarah lebih ke Utara adalah sebuah lajur jalan yang cukup terkenal bagi Jakarta’s foodie. Kalau menurut Om Google, nama officialnya Pluit Karang Timur, namun bagi warga sekitar, mereka menyebutnya ‘deretan eaton’. Sepanjang jalan ini tersebar nama-nama kaki lima yang tersohor. Martabak Sinar Bulan dengan sang penjual yang berambut klimis. Salah satu martabak termahal yang dibanderol dengan harga IDR 70.000++ per loyang. Atau Soto Bang Mamat, Ayam Goreng Kiko Sari, Seafood Bola, dan banyak lagi.
Disini bisa ditemukan fenomena yang berbeda. Fenomena yang bisa mencerahkan banyak hal. Disini tidak jarang akan anda temukan Mercedes Benz C Class, Alphard, BMW parkir di sisi jalan bersanding dengan mobil sejuta umat Avanza, Xenia, atau bahkan dengan pengendara motor. Disini tidak ada kasta. Disini tidak ada kaya miskin. Disini kalangan atas dan bawah duduk dalam meja yang sama tinggi, menikmati makanan yang sama terjangkaunya. Disini makanan menyatukan semua. Disini different universes collide in one world.
And Even Further
Kalau boleh saya ajak melihat lebih jauh lagi, alias berimajinasi, coba dipikirkan berapa banyak tangan yang terbantukan dengan adanya kaki lima? Selain mereka yang makan dan mereka yang menjual yang menikmati hasilnya langsung, ada jaring besar manusia-manusia yang terhubung. Sang pengamen dengan lagu Tehbotol di atas, anak-anak jalanan yang hidup dari belas kasihan pengunjung kaki lima, penjual bahan makanan di pasar, petani yang menanamnya, tukang parkir, mas-mas penjual dvd bajakan, sampai berekor-ekor kucing yg mencari makan di sana. By the way, kaki lima termasuk dalam sektor informal yang sampai 2012 kemarin masih menyumbang 30% total GDP Indonesia dan kalau dinilai besarnya sama dengan IDR 2.400 Triliun.
Saya mungkin over-simplifying, tapi kaki lima mungkin bukan sekedar kaki lima. Mungkin kaki lima punya makna yang lebih dari sekedar agak minggir got sedikit. Mungkin a glimpse of heaven is there among street foods. Mungkin sebentuk kecil surga ada di telapak kaki lima.
Surga bagi saya dan anda penikmat kuliner tentunya. Surga bagi mereka yang menggantungkan hidupnya disana, mereka yang bermata-pencaharian di sana. Surga bagi mereka yang terbantukan hidupnya, yang ikut merasakan impact kehadiran kaki lima. Surga karena ia adalah satu dari sekian sedikit tempat yang bisa menyatukan dunia yang berbeda. Street food might just be the place that unites different people, different universe in one world, the world of food.